Aku fikir Sempurna yang kamu puja itu sama, sama-sama belum pernah ku sentuh, sama-sama tak bisa ku lihat, entah itu apa, kamu bertanya diantara keduanya, bertanya keberadaan dan mengapa kamu percaya kepada Sang Pencipta. Kamu fikir doa yang selalu kamu ulang 5 kali sehari itu tak berguna, tak kunjung tiba, seperti berbicara pada udara yang bergerak disundul rotasi bumi. Kamu tengok jati diri yang menempel dari dahi hingga jempol kaki "ini aku atau pemberian mamaku?". Serapah yang kamu bual, aku tetap percaya Satu.
Dunia semakin fana, tegasku. Mana mungkin 203 Bulan hidupku dapat ku ulang saat bermain dibelai hujan lebih menyenangkan dari berlindung dibalik jendela. Maka ku hargai 203 Bulan hidupku sebagaimana kamu hargai satu butir nasi untuk Jelata. Pagiku kian berharga setiap harinya, Malamku tak kalah huru. Sesal juga tak pernah mengetuk pintu kamar, yakinku ini pelajaran, mereka pelajaran. Anganku menjadi puncak Everest. Puncak yang tak mungkin kamu tiba, kecuali berusaha, waktu untuk mendaki, kadang mereka jatuh terselengkat buaian untuk usai, karena terlalu jauh, bosan, kadung tak berhasrat atau disusul mereka yang lebih baik darinya. Apapun alasannya aku tetap menunggu yang pertama menancap bendera dengan bangga. Ini Everest bukan Puncak Cisarua.
Dunia semakin fana, tegasku. Mana mungkin 203 Bulan hidupku dapat ku ulang saat bermain dibelai hujan lebih menyenangkan dari berlindung dibalik jendela. Maka ku hargai 203 Bulan hidupku sebagaimana kamu hargai satu butir nasi untuk Jelata. Pagiku kian berharga setiap harinya, Malamku tak kalah huru. Sesal juga tak pernah mengetuk pintu kamar, yakinku ini pelajaran, mereka pelajaran. Anganku menjadi puncak Everest. Puncak yang tak mungkin kamu tiba, kecuali berusaha, waktu untuk mendaki, kadang mereka jatuh terselengkat buaian untuk usai, karena terlalu jauh, bosan, kadung tak berhasrat atau disusul mereka yang lebih baik darinya. Apapun alasannya aku tetap menunggu yang pertama menancap bendera dengan bangga. Ini Everest bukan Puncak Cisarua.